Ungkapan Sayang Dalam Sepiring Sop Buntut Goreng


Kado Ultahku yang ke-24

Kemarin, tepatnya tanggal 9 Maret, saya ulang tahun yang ke 24. Ini merupakan ulang tahun pertama setelah pernikahan. Tidak terasa, sudah 24 tahun saya tinggal di dunia ini. Hmmm waktu yang cukup lama, tetapi di rasa sangat singkat untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang tersayang.

Hari itu, suami berjanji mengajak jalan-jalan untuk membeli baju sebagai kado ulang tahun. Sehabis sholat dzuhur, kami siap-siap berangkat. Namun, hujan sangat deras disertai petir. Karena takut kehujanan dan terjebak kemacetan di tengah jalan yang pada saat hujan akan tergenangi air, kami memutuskan untuk tidak jadi berangkat.

Sore harinya, suami berkata ”Sayang, nanti uda masakin sup buntut goreng ya, de mau kan?”. Mendengar tawaran seperti itu, rasanya senang sekali. Saya pun langsung meng-iyakan. Suamiku memang jago untuk urusan masak-memasak, bahkan jauh lebih pandai daripada aku sendiri. Walaupun begitu, untuk urusan masak sehari-hari tetap saya yang mengerjakan sebagai istri, namun tak jarang dia juga ikut membantu.

Malam harinya, dia terlihat sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk memasak. Waktu saya ikut melihat kegiatannya, dia berkata ”De istirahat aja, biar uda aja yang masak”. Mungkin dia tidak ingin diganggu dalam menyiapkan makan malam yang istimewa itu.

Sekitar satu jam, sudah terhidang dua porsi sup buntut goreng. Buntut sapi yang dipenuhi daging terlihat sangat menggoda selera, ditambah dengan potongan kecil tomat matang dan dihias dengan cabe merah panjang. Sesendok nasi putih yang masih panas menemani sajian yang ditata dalam piring kaca persegi. Lampu hias dengan cahaya kuning temaram disertai lagu Because of You dan alunan musik Kenny G menemani kami di malam yang spesial bagiku.

Sungguh makan malam yang romantis. ” Uda, terima kasih ya”.

” Sama-sama” jawabnya sambil menciumku.

Peran Suami dan Istri dalam Keluarga


Pagi tadi, saat sahur sekitar jam 3, saya ditelpon sama uda (yang saat ini bekerja di Bandung) untuk nonton Metro TV, kata uda ada Bapak Quraish Shihab yang berbicara tentang keluarga sakinah. Karena saya mengangumi sosok Quraish Shihab, maka saya mengikuti anjuran uda untuk nonton acara tersebut, apalagi topiknya menarik sekali tentang keluarga sakinah. Walaupun saya dan uda belum menikah, tapi kami tertarik sekali tentang topik bagaimana membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah seperti doa yang sering kita dengar ketika pasangan akan menuju ikatan pernikahan.

Yah, itung-itung belajar, saya pun mengikuti acara tersebut. Tapi sayangnya, saya agak telat, jadi tidak bisa mengikuti dari awal. Waktu itu saya mulai bergabung dengan acara tersebut, Bapak Quraish Shihab berbicara tentang surat An-Nisa’ dan sedang menjelaskan bagaimana ketika ada permasalahan dalam keluarga.

Menurut beliau, ketika ada suatu masalah antar suami istri, hendaknya masalah tersebut cukup di ”dalam kamar saja”. Artinya, tidak perlu orang lain tahu, baik itu anak, keluarga istri, keluarga suami apalagi tetangga sebelah rumah. Apa efeknya ketika masalah tersebut sudah sampai pada orang lain? Akan banyak terjadi campur tangan, lalu akan timbul rasa ”gengsi” baik pada suami maupun pada istri untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Istri tidak mau disebut sebagai pihak yang bersalah, begitu pula halnya dengan suami.

Orang lain boleh ikut campur, tetapi kalau dia berperan sebagai penengah, artinya jika masalah tersebut tidak bisa diselesaikan berdua, boleh minta bantuan pada orang lain, tetapi fungsinya sebagai penengah. Kita tentu saja boleh menjelaskan duduk perkaranya pada si penengah dan bukan menceritakan masalah tersebut pada orang yang tidak berkepentingan.

Nah itu pelajaran pertama yang saya dapat..

Ketika ada istri yang susah diatur, maka kewajiban suami untuk memperingatkannya. Pertama suami berbicara secara baik-baik, apabila belum bisa, maka suami boleh memukul istrinya. Tetapi, bagaimanakah memukul itu? Suami boleh memukul, tapi tidak boleh menyakiti. Memukul tapi tidak menyakiti? Ya, suami boleh memukul, tapi tidak keras, tidak boleh diwajah dan tidak boleh menyakitkan. Memukul itu bisa saja dilakukan dengan satu jari, atau bahkan mendendangkan nyanyian di telinga. (Dalam bahasa Arab, melangkah atau berjalan diatas tanah, itu juga termasuk memukul, yaitu memukul tanah).

Lalu, beliau menjelaskan lagi, tentang kewajiban suami dan istri..

Saat suami memberikan nafkah kepada istrinya, janganlah dia merasa sebagai orang yang selalu berkorban, selalu memberi dan apalagi merasa berkuasa atas istrinya. Tapi rasakanlah bahwa itu adalah tanggung jawab dan dia akan mendapat balasan. Apa itu balasannya? Yaitu, rasa bahagia saat dia bisa membahagiakan istrinya karena sudah memenuhi kebutuhan sang istri. Seorang istri akan merasa bahagia ketika kebutuhannya dipenuhi, (benar juga, orang tentu akan bahagia, saat kebutuhannya dipenuhi). Begitu juga dengan istri, saat dia melayani suaminya, janganlah istri merasa menjadi orang yang banyak berkorban dengan hal tersebut, tapi rasakanlah itu sebagai tanggung jawab sebagai seorang istri. Lakukan pekerjaan dengan hati senang, karena pekerjaan melayani suami itu, akan medapatkan balasan yang sama juga, yaitu rasa bahagia karena bisa membahagiakan suami kita.

Wah, rasanya saya dan uda mungkin belum pantas dan belum cocok berbicara tentang ini, tapi ini cuma sekedar share aja karena “indahnya hidup dengan berbagi”. Sebenarnya masih banyak sekali pelajaran yang saya dapat tadi pagi, ini hanya sebagian kecil yang bisa saya ungkapkan disini. Jika ada yang ingin berbagi atau share disini, boleh dan kami berterima kasih sekali. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Salam

(mitha dan uda)